Saat diduduki oleh Belanda, pemerintah Kolonial memberlakukan hukum agraria
yang dikenal sebagai Agrarische Wet pada tahun 1870. Hukum ini mengatur jangka
waktu penggunaan tanah oleh pihak-pihak pemakai. Karena tanah diasumsikan
sebagai milik pemerintah, maka tanah dibagi dalam dua kategori peruntukan,
sebagai milik pribadi yakni sebagai peruntukan tempat tinggal maupun sebagai
milik lembaga usaha, yakni sebagai peruntukan usaha.
Meski merupakan perbaikan dari kebijakan Tanam Paksa yang diberlakukan
penguasa Kolonial sebelumnya, hukum Agraria ini tetap lebih menguntungkan
penjajah. Aturan yang mengatur jangka waktu yang cukup panjang bagi pengusahaan
lahan bertujuan untuk upaya menarik lebih banyak lagi penanam modal asing ke
wilayah Hindia Belanda. Ini dilakukan, karena pemerintahan Kolonial tidak punya
cukup uang untuk mengeksploitasi kekayaan alam Indonesia saat itu.
Ketika Indonesia merdeka, DPR RI mengesahkan Undang-undang Pokok Agraria,
no. 5/1960, untuk menggantikan Agrarische Wet yang dibuat pemerintahan Kolonial
Belanda pada tahun 1870. Dengan orientasi yang kuat pada kepentingan masyarakat
banyak, undang-undang ini mengatur secara spesifik mengenai hak-hak pemilikian
atas tanah dan juga penggunaan atas tanah.
UUPA sebenarnya sudah cukup baik dari segi isi dan sifatnya sudah cukup
populis alias merakyat, akan tetapi dalam pelaksanaannya? Seringkali terjadi
penyimpangan dari isi undang-undang tersebut.
Kurangnya kualitas SDM pelaksana menjadikan UUPA bagai badan tanpa kepala.
Aparat semestinya lebih sadar hukum agar pelaksanaan Undang-Undang ini menjadi
lebih lancar dan bebas hambatan.
Selain itu, pelaksanaan UUPA juga dihadang oleh kekuasaan. Undang-undang
yang sebenarnya difungsikan untuk kesejahteraan masyarakat, justru sering
dikalahkan oleh keputusan-keputusan presiden (Keppres), yang secara hukum
berada dalam posisi yang lebih rendah.
Sampai saat ini dalam pelaksanaan UUPA, ada lima masalah di bidang
pertanahan yang sering mencuat ke permukaan, yaitu fungsi sosial tanah (pasal
6), batas maksimum pemilikan tanah (pasal 7), pemilikan tanah guntai (pasal
10), monopoli pemilikan tanah (pasal 13), dan penetapan ganti rugi tanah (pasal
18). Kelima hal ini baik secara langsung maupun tidak memicu munculnya berbagai
bentuk konflik pertanahan, yang tidak mudah diselesaikan. Masalah menjadi
semakin rumit, karena gencarnya aktivitas pembangunan menyebabkan terlupakannya
unsur keadilan di bidang pertanahan. Penerapan pasal 6 UUPA tentang fungsi
sosial tanah, misalnya, masih sering bias dalam praktek di lapangan.
Menurut butir II.4 penjelasan umum UUPA, fungsi sosial tanah berarti hak
atas tanah apa pun yang ada pada seseorang, tidak dapat dibenarkan tanahnya itu
akan dipergunakan (atau tidak dipergunakan) semata-mata untuk kepentingan
pribadinya, apalagi kalau hal itu merugikan masyarakat. Sementara itu,
penerapan pasal 7 UUPA tentang batas maksimum pemilikan tanah, dalam kenyataannya
juga sering dilanggar.
Berbagai kekisruhan yang terjadi selama ini mengindikasikan terjadinya
penumpukan pemilikan tanah di satu pihak, sedangkan di pihak lain, pemilikan
tanah dikikis. Ketidakseimbangan dalam distribusi pemilikan tanah inilah baik
untuk tanah pertanian maupun bukan pertanian yang menimbulkan ketimpangan baik
secara ekonomi, politis maupun sosiologis. Pada akhirnya, petani lapisan bawah
yang memikul beban terberat akibat ketidakseimbangan distribusi ini.
Masalah lain yang mengganjal adalah berkembangnya
nilai komoditas tanah, sehingga diperebutkan banyak orang untuk mengejar keuntungan
ekonomi. Orientasi kerakyatan yang menjadi semangat UUPA paling tidak jika
ditilik pada beberapa pasal yang berpihak pada rakyat, serta ditetapkannya UU
No. 2/1960 tentang Perjanjian Bagi Hasil (Tanah Pertanian) dan UU No. 56
Prp/1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian sedikit demi sedikit terkikis
oleh sifat kapitalistik.
Konflik muncul dari perbedaan kepentingan antara
rakyat banyak yang membutuhkan tanah sebagai sumber pokok kehidupan, dengan
pihak-pihak lain yang membutuhkan tanah tersebut untuk kegiatan ekonomi dalam
skala besar. Meski tanah memang langka karena tidak bisa diperbaharui
(unrenewable resources), silang sengketa antara rakyat dengan pemodal ini lebih
disebabkan oleh ekspansi modal secara besar-besaran. Dalam konteks ini, para pemodal
diuntungkan oleh kebijakan ekonomi yang lebih condong pada pertumbuhan
ketimbang pemerataan ekonomi. Atas nama pembangunan, tanah-tanah garapan petani
atau tanah milik masyarakat adat diambil alih oleh para pemodal, yang
memanfaatkan peluang pengalihan hak atas sumber-sumber agraria yang terdapat
pada undang-undang buatan penguasa (negara). Dengan demikian, muncul sumber
konflik baru, yaitu antara para petani kecil dengan para pemodal besar, yang
bukan hanya didukung oleh perangkat hukum, tetapi juga aparat keamanan. Inilah
yang memunculkan gagasan untuk menyelenggarakan Pengadilan Agraria (PA) yang
mandiri, untuk menangani sengketa-sengketa agraria, baik yang bersifat
horisontal maupun ver-tikal. Pengadilan Agraria ini tidak sama dengan
Pengadilan Landreform yang diatur dalam UU No 21/1964 tentang, karena lebih
mengacu kepada corak sengketa dan model penanganannya. Dengan pendirian PA
seperti ini, niscaya pemerintah dan masyarakat akan dapat saling diun-tungkan,
karena masalah sengketa pertanahan yang kerap terjadi bukan melulu masalah
aturan dan Undang-Undang tapi juga masalah perangkat keras pendukung dari
Undang-Undang dan sistem ketata negaraan sebuah negara.