Perkebunan merupakan salah satu usaha yang
intensif dan paling berhasil perkebunan asing di dunia ketiga. Keberhasilan
perkebunan dari perkebunan Sumatera tidak terlepas dari tersedianya tenaga
kerja murah, yang secara sosial dapat di atur dan buta politik. Sayangnya
keberhasilan tersebut tidak dibarengi dengan peningkatan ekonomi dari penduduk
secara keseluruhan, hal ini terjadi karena Belanda pada saat itu hanya
mementingkan kepentingan perusahaan saja. Bagaimana perusahaan tersebut dapat menghasil
devisa bagi Hindia Belanda.
Bekerja dan memproduksi merupakan inti dari
kapitalisme kolonial, maka pada mulanya perusahaan perkebunan mengimpor pekerja
dari Cina dan Jawa yang kemudian dijadikan buruh/budak. Sehingga tidaklah
mengherankan ketika di wilayah tersebut ada perkampungan Jawa yang terbentang
sepanjang wilayah perbatasan perkebunan. Kondisi seperti sangat berbeda dengan
perkebunan yang ada di Jawa, dimana perluasan dan majuanya perusahan tersebut
disebabkan oleh tenaga kerja didatangkan dari wilayah sekitar.
Dengan kondisi yang tidak menguntungkan tersebut,
muncullah protes dari masyarakat untuk melakukan perlawanan terhadap ketidak
adilan dari. Akan tetapi protes yang dilakukan hanya terbatas pada gerakan dari
petani miskin dan kelompok sosial tertentu khusunya tokoh-tokohnya yang anti
kolonialisme. Karena petani miskin Jawa tidak termasuk dalam dua golongan
tersebut, maka petani Jawa jarang diperhatikan. Oleh karena tidak gerakan
bersama antar etnis, maka gerakan tersebut dapat diatasi oleh Belanda.
Dengan seiring berjalannya waktu ada perubahan
besar dalam sistem sosial yang terjadi di Sumatera, para pekerja generasi
pertama mulai berusaha menjauh status pekerja di perusahaan. Mereka lebih
memusatkan kepada pembangunan rumah dan usaha pertanian kecil di tepi
perkebunan atau diatas lahan yang diserobot dari perkebunan tersebut.
Bagi perusahaan, keberadaan petani liar tersebut
merupakan keuntungan namun juga menjadi ancaman. Baik secara ekonomi ataupun
secara politis. Mengapa demikian? Karena keberadaan mereka nantinya akan
mempengaruhi terhadap kebijakan perburuhan. Dalam sistem kapitalisme tidak
hanya faktor penguasaan tanah dan ketersediaan tenaga kerja, tetapi kontrol
terhadap para buruh dalam penggunaan lahan juga harus diperketat. Karena kalau
lahan yang digunakan semakin besar maka akan tercipta sebuah kemandirian, dan
efeknya juga jelas nantinya buruh tersebut akan sulit dikendalikan oleh
perusahaan. Maka dari itu dalam mengusahakan lahan pertanian, para buruh diberi
luas lahan sangat terbatas, dimana hasil dari pertanian hanya mampu untuk
mencukupi kebutuhan hidupnya.
Fenomena yang terjadi diatas hanya terjadi pada
masyarakat transmigran saja, kedatangan perusahaan-perusahaan ke Sumatera justru
menguntungkan masyrakat melayu. Mereka bisa hidup dari hasil sewa tanah bagi
transmigran (Jawa dan Cina), pada saat itu kaum transmigran dihalangi untuk
mendapatkan hak hukum atas tanah.
Proses hegemoni perusahaan atas buruh sebenarnya
tidak terjadi dengan sendirinya. Aparat kolonial berperan penting dalam proses
tersebut melalui persetujuan mereka dalam bentuk-bentuk pemaksaaan. Oleh karena
itu dalam kasus perkebunan Sumatera sebelum kemerdekaan, Belanda merupakan
aktor utama dalam proses hegemoni dengan tujuan untuk memperoleh devisa yang
sebesar-besarnya bagi hindia Belanda.